Azab Akibat Telantarkan Anak dan Isteri
Sebuah penyesalan selalu saja berada di akhir cerita. Demikian pula dengan kisah sesal Narso yang hidup menjauh dari keluarganya. Belasan tahun ia tinggalkan anak-isterinya demi mengejar kesenangan semu.
Keluarganya terlantar lantaran dia berani berkorban apa pun demi perempuan simpanannya. Tapi, Narso harus menelan pil pahit. Allah memberi ganjar pada setiap hamba-Nya yang berlaku cela. Kali ini dengan sederet kenaasan nasib dan penyakit terkutuk selama hidup hingga maut menjemputnya.
Wajah lelaki tua renta itu menatap nanar ke arah Sumi. Matanya berkaca-kaca. Sesekali ia seka air yang bergulir di pipinya itu, sambil terus-menerus tangannya menggapai-gapai meraih wajah Sumi, gadis kecilnya yang kini sudah beranjak dewasa.
“Sudah besar kamu sekarang, Nduk…” gumam Narso tersenyum seraya kelihatan sekali bahagia.
Sementara Sumi, juga tak kuasa menahan tangis, Wanita yang sudah dikaruniai anak itu bersyukur bisa kembali bertemu dengan ayahnya setelah bertahun-tahun ditinggalkan.
“Kondisi Bapak sudah baikan?” tanya Suami memecah kesunyian dan rasa pilu yang muncul di antara mereka sedari tadi.
“Alhamdulillah, penglihatan Bapak sudah agak membaik,” Narso menyahut senang.
Batin Sumi tak henti-hentinya berucap syukur. Sejak kedatangan bapaknya sebulan lalu dari tanah rantau, kini kondisi kesehatannya sudah jauh lebih baik. Sangat berbeda dari kondisi ketika pertama kali ayahnya datang.
Tubuh tegap dan paras rupawan yang pernah dimiliki sang ayah seakan sirna entah kemana. berganti dengan tubuh yang berbalut tulang yang dihiasai borok di kaki dan tangan.
Badannya pun kumal, dekil, bau dan menjijikkan. Pakaiannya compang-camping, layaknya pengemis yang tak pernah tersentuh air dan belum diisi makanan beberapa hari. Benar-benar mengenaskan.
Sumi tak menyangka ayahnya bisa berubah seperti itu. Yang selalu terbayang dalam ingatannya adalah sosok seorang ayah yang perlente. Maklumlah, dulu ayahnya adalah seorang mantri yang berpenampilan menarik.
Selain karena faktor pandai membawakan diri, mungkin kekayaan yang dimilikinya dahulu juga menjadi penunjang mengapa dia begitu enak dipandang.
Tapi, batin Sumi yang lain cenderung mengatakan bahwa perubahan yang terjadi pada ayahnya adalah balasan atas apa yang sudah diperbuat sang ayah. Begitu juga dengan seluruh keluarganya yang lain, yang dulu pernah menerima perlakuan buruk Narso.
Masih lekat dalam benaknya tentang sikap dan sifat Narso yang kasar terhadap Maryam, Ibunya. Tak segan-segan Narso bertindak kasar dengan cara memukul, menampar bahkan sampai menendang sang isteri. Kalau lagi benar-benar suasana hatinya kesal, anak-anaknya yang masih kecil-kecil pun jadi sasaran amukannya.
Sebenarnya perubahan ini muncul sejak Narso diduga tengah menggandrungi wanita lain selain Maryam. Suatu hari, sang isteri coba mengkonfirmasikan desas-desus yang bahkan tengah menjadi buah bibir di kampungnya itu.
Sungguh di luar dugaan Maryam, mantri perlente itu mengiyakan!
“Kalau saya jatuh cinta lagi dengan perempuan lain, bukan urusan kamu! Urusan kamu itu ya mengurus rumah dan anak-anak!” bentak Narso kasar dengan nada menentang.
Deg! Jantung Maryam berdegup kencang mendengar pengakuan jujur itu. Semula dia menduga perubahan kasar sang suami hanyalah akibat dari pekerjaan kantornya yang begitu menumpuk. Dia tak mau menduga terlalu jauh dan berlebihan.
Namun karena telah sebulan ini suaminya sering telat pulang, bahkan beberapa hari tidak pulang ke rumah sama sekali, dugaan awal Maryam agak bergeser. Wanita sabar ini demikian khawatir pada apa yang menjadi dugaannya.
Benar saja, prasangka yang menakutkan itu kini nyata adanya. Padahal sebelumnya keluarga pasangan Narso-Maryam dikenal sebagai keluarga harmonis dan berkecukupan di kampung Sawo.
Narso bisa dibilang suami siaga bagi isterinya dan ayah yang mengayomi bagi anak-anaknya. Apalagi, keharmonisan itu ditunjang dengan kebutuhan materi yang lebih dari cukup. Tapi, ketenangan itu berubah tatkala Narso memproklamirkan diri akan menikah lagi dengan wanita simpanannya!
Ya. Sejak Narso mengaku jatuh cinta lagi dan memiliki ‘pacar baru’, tingkah dan sifatnya menjadi aneh dan menjengkelkan. Perilaku kasarnya semakin menjadi-jadi. Pada isterinya, anak-anaknya, saudaranya, atau siapa pun yang selalu mengingatkan perubahan sikapnya yang buruk tersebut.
Kondisi demikian, mirisnya berimbas terhadap pekerjaannya. Narso jadi malas bekerja. Dia sering bolos. Hari-harinya diisi dengan hura-hura dan mengencani idaman barunya. Pergi tak pernah pamit, pulang pun semaunya saja.
Menurut pengakuan beberapa orang tetangga yang pernah bertemu Narso selama dia tidak pernah pulang ke rumah, narso selalu jalan bersama seorang perempuan muda. Tanpa perasaan risih saat bertemu dengan tetangganya, Narso berani berlaku mesra.
Sebagai seorang istri yang suaminya sedang lupa diri, hari-hari yang demikian menjelma bak neraka bagi Maryam.
Sejak suaminya berubah, Maryam bukan saja tak lagi mendapatkan kasih sayang dan cinta suami, namun kebutuhan dapur, biaya sekolah dan jajan anak-anaknya sehari-hari pun berangsur-angsur surut. Narso tak lagi menafkahinya lahir batin.
Tapi mau bagaimana lagi. Tak ada pilihan lagi. Maryam tak berani mengambil risiko jika harus minta cerai dari suaminya. Ia mencoba bertahan saja mengingat anak-anaknya masih kecil. Bagaimanapun, rasa cinta terhadap sang suami sulit diusir begitu saja dari hatinya.
Sayangnya pertahanan tersebut nyaris bobol kala suatu hari narso pulang ke rumah dengan mata menyala-nyala. “Yang saya ingat waktu itu bapak ngamuk seperti minta sesuatu. Kayaknya sih uang atau barang beraharga,” kata Sumi yang coba mengingat-ingat hari petaka itu.
Dengan seenaknya, tanpa memerdulikan kondisi sang isteri, Narso meminta uang dengan paksa pada Maryam. baju-baju sang isteri di dalam lemari digeledahnya dengan kasar. Bahkan semua tempat yang bisa menjadi tempat penyimpanan uang isterinya pun tak luput dari incarannya.
Begitu dia mendapati apa yang dicari, Narso langsung pergi. Maryam hanya bisa menangis, begitu pun dengan anak-anaknya yang ketakutan atas ulah ayah mereka.
“Kejadian ini malah berulang-ulang terus…” cerita Sumi lagi dengan nada genit. Bahkan katanya, manakala Narso tak berhasil menemukan uang, barang berharga yang menghiasai rumah tak luput digondolnya dengan paksa. Sampai semuanya habis.
“Rumah jadi kosong karena tak ada lagi isinya,” kenang Sumi dengan mata mengembang menahan tangis.
SumpahMelihat kondisi rumahtangganya diambang kehancuran, Maryam tak ingin tinggal diam lagi. Ia berusaha sebisa mungkin meminta suaminya untuk meninggalkan wanita yang kata banyak orang ‘perempuan tidak baik’ itu.
Namun Narso tetap tak bergeming. Dia benar-benar tergila-gila pada wanita simpanannya itu. Apa saja berani dilakukannya meskipun itu meyakiti anak dan isterinya sekalipun.
Kalau melihat ini, sesekali Maryam menduga bahwa suaminya itu mungkin diguna-guna. Tapi sebagai muslimah. Maryam sadar bahwa dia harus memilih memasrahkan segala sesuatunya pada Allah, Sang Maha Mengetahui seluruh rahasia hidup.
Kesal akan permohonan sang istri, Narso malah berniat meninggalkan mereka. Lelaki ini malah bersumpah tak akan menceraikan wanita simpanannya itu meski di suatu hari kelak ia jatuh miskin dan sakit-sakitan sekalipun. “Sampai miskin juga aku tidak akan meninggalkan dia!”
Mungkin kekesalan dan rasa bosan begitu menggunung di kepala Narso saat sesumbar. Narso tega menendang isterinya lantaran sang isteri menarik lengannya supaya dia tidak pergi dari rumah.
Namun Maryam yang malang, kali ini sudah tak kuasa menahan tangis dan amarah. “Mudah-mudahan hidup kamu susah terus, Pak…. matamu buta… kemaluanmu rusakkk…” dengan nada bergetar menahan marah sumpah serapah untuk pertama kalinya keluar dari mulutnya.
Azab Silih Berganti
Akhirnya kini Narso terbebas dari belenggu rumahtangganya dengan Maryam dan menikahi wanita idamannya. Kabarnya, mereka pergi ke sebuah daerah di Kalimantan. Tapi setelah beberapa tahun berlalu, toh kehidupan rumah tangga mereka pun tak bisa dipertahankan.
Akhirnya kini Narso terbebas dari belenggu rumahtangganya dengan Maryam dan menikahi wanita idamannya. Kabarnya, mereka pergi ke sebuah daerah di Kalimantan. Tapi setelah beberapa tahun berlalu, toh kehidupan rumah tangga mereka pun tak bisa dipertahankan.
Gaya hidup istri barunya yang selalu ingin berkecukupan tak bisa dipenuhi Narso. Maklum saja, sejak dia meninggalkan jabatannya sebagai mantri, praktis kehidupannya pun berubah. Seluruh harta benda yang menjadi tabungannya terkuras demi memenuhi life style isteri mudanya yang sok kaya itu.
Akibat tak bisa memenuhi keinginan sang istri, tentu saja perhatian isteri mudanya berkurang. Makin hari, kelakuannya pun mulai berubah.
Si istri muda kini mulai sering meninggalkan Narso di rumah seorang diri. Kabarnya malah wanita itu melakukan affair dengan laki-laki lain. “Bapak jatuh sakit melihat ulah isterinya…,” ujar Sumi yang mendapat cerita langsung dari ayahnya.
Narso merasa terpukul dan jatuh sakit karena mendapati kelakuan isterinya. Selama ini dia sudah berusaha mengingatkan, namun yang didapat malah ancaman. Si Istri muda mengancam akan meninggalkan Narso jika berani berulah dan menentang kemauannya.
Tapi karena Narso tak ingin kehilangan isterinya, dalam keadaan sakit pun ia berusaha mencari tambahan penghasilan. Apa pun dia kerjakan. Mulai dari buruh kasar, menjadi pembantu, menyabit rumput dan meminta-minta. Namun semua pendapatannya toh tetap tak bisa memenuhi gaya hidup isterinya yang sangat konsumtif.
Hingga suatu ketika, di depan mata kepalanya sendiri, isteri muda Narso berani membawa laki-laki ke rumah. Narso kaget bukan kepalang. Kesadarannya nyaris saja lenyap.
Namun kemarahan itu tertahan lantaran isterinya sudah keburu berkemas pergi dengan lelaki itu sambil membawa seluruh barang berharga yang masih tersisa di rumah. Narso sendiri padahal sedang terbaring sakit saat itu.
Rasa sakit yang hinggap di sekitar kemaluannya makin hari semakin parah. Kemaluannya membengkak. Sempat Narso tak bisa dibuat jalan karenanya. Parahnya bahkan pandangan matanya saat itu agak kabur. Kondisi ini lumayan berlangsung lama.
Hidup di tanah rantau yang jauh dari keluarga menjadikan Narso hanya menyandarkan hidupnya pada belas kasih orang lain. begitu kondisi agak baikan, Narso hidup menggelandang sebagai peminta-minta. Dia kini hidup di jalan-jalan raya, di pasar, di mana pun keramaian berada.
Untunglah, dalam kesengsaraan yang menemani hari-hari Narso, dia sudah mulai menyadari kekeliruannya selama ini. Sering ia menangis dan bersujud bersedu-sedu, menyesali kelakuan buruknya dulu.
“Bapak bercerita bahwa sejak ditinggal istri mudanya, wajah ibu saya yang menangis menarik lengannya supaya jangan pergi selalu terbayang-bayang. Bahkan kata-kata ibu, yang menurut bapak adalah sumpah, juga terngiang-ngiang ditelinganya,” kisah Sumi lagi.
Demi semua itu, Narso masih memiliki harapan untuk kembali menemui anak dan isterinya. Dia ingin kembali pada mereka.
IbrohSedikit keberanian, suatu hari muncul di benak Narso. Lelaki yang beranjak tua ini memutuskan untuk segera pulang kampung, menemui anak dan isterinya yang dulu.
Walaupun sebenarnya dia mengaku sangat malu. Malangnya, begitu sampai di rumahnya, dia hanya bisa mendapati anak dan saudara-saudaranya saja. Sementara Maryam, isterinya yang dulu, telah meninggal.
“Tak bosan-bosannya bapak menangis dan meminta maaf pada kami sekeluarga. Tapi kami pun sudah mengikhlaskan dan memaafkan kesalahan dia. Bagaimanapun, dia masih tetap bapak saya,” aku Sumi sungguh-sungguh. dan tak lama setelah itu Narso yang sudah dimakan usia menyusul Maryam.
Alhamdulillah, Secercah cahaya hidayah masih sempat menelusup ke dalam hati Narso yang pernah mati. Sehingga sebelum benar-benar raganya pergi meninggalkan jasadnya, dia masih diberi kesempatan oleh Sang Maha Pengampun untuk bertaubat, mengakui semua kesalahan pada mereka yang telah disakitinya.
Dengan demikian, bukan menjadi suatu kemustahilan bila apa yang kita perbuat selama hidup tak ada balasannya, sekecil apa pun itu, Narso yang telah berulah keji terhadap anak dan isterinya, harus melalui hari-harinya, bertahun-tahun, menanggung derita.
Narso telah lalai atas apa yang diperintahkan Allah, sebagai seorang suami, untuk menjaga anak dan isterinya. Semestinya, Narso menyadari bahwa Allah telah menitahkan pada seluruh hambaNya, terutama bagi pemimpin keluarga seperti dia untuk menjaga keluarganya dengan baik.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar; yang keras; yang tidakmendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. at-Tahrim: 6).
Semoga dari secuil kisah ini banyak hikmah dan pelajaran yang bisa dipetik, yang pada akhirnya berguna bagi hidup kita semua. Amin.
Sumber: jadzab.com
0 Response to "Azab Akibat Telantarkan Anak dan Isteri"
Posting Komentar